Oleh: Sis Ratri Ciptaningtyas*)
Insya Allah dalam pembahasan kali ini saya akan mengangkat tiga poin tentang konsumsi kurma di bulan Ramadhan dari segi jenis kurma, jumlah dan manfaat kurma bagi kesehatan tubuh dalam pandangan Islam dan ilmu gizi.
Ustadz Ammi Nur Haits dalam https://konsultasisyariah.com/30882-hoax-khasiat-kurma-ajwah.html menerangkan landasan tentang pendapat berbagai ulama, yang menyatakan bahwa bukan kurma Ajwa saja yang memiliki manfaat sebagai anti racun, namun berbagai jenis kurma Madinah juga memiliki manfaat yang sama. Meskipun ada juga pendapat ulama yang menginterpretasikan hanya kurma Ajwa yang memiliki manfaat sebagai anti racun, karena disebutkan spesifik di dalam hadits. Jumlah yang disebutkan agar kurma dapat menjadi anti racun adalah tujuh butir.
Dalam ilmu gizi, anti racun yang dimaksud bisa jadi sama dengan anti inflamasi. Anti inflamasi merupakan mekanisme fisiologi sebagai bentuk pertahanan sel terhadap faktor polutan kimia ataupun gas, stres, agen penyebab infeksi seperti virus, bakteri, jamur ataupun stimulus lain seperti alergen. Anti inflamasi yang terdapat dalam kurma Ajwa dianalisis oleh Zhang (2013) yang menunjukkan ekstraksinya dapat menghambat peroksidase lipid enzim cylooxygenase COX-1 dan COX-2. Tetapi bukan hanya kurma Ajwa, Rahmani (2014) mensarikan berbagai penelitian tentang komponen bioaktif dalam tanaman yaitu fenolik dan flavonoid mempunyai kemampuan anti inflamasi termasuk dari ekstraksi daun kurma. Dengan demikian penulis sepakat dengan ulama yang menyatakan bukan hanya kurma Ajwa yang memiliki manfaat anti racun, karena kurma sendiri merupakan pangan berbasis tanaman yang memiliki komponen bioaktif.
Namun sebagaimana buah pada umumnya, kurma juga memiliki kandungan fruktosa. Menurut Sánchez-Lozada (2008), kandungan fruktosa 25-40 g/hari aman untuk penderita diabetes type 2. Jika dikonversi maka estimasi jumlah kurma yang aman dikonsumsi penderita diabetes berkisar 1 – 2 butir. Baig Mirza (2019) menganalisis terdapat 50.8 g/100 g kurma Ajwa tingkat Tamr yang bisa langsung dikonsumsi. Estimasi 100 g ini sama dengan 5 – 7 butir kurma. Satu butir kurma dalam USA Food and Nutrition Database diestimasi dalam 24 g (standar acuan kurma medjool).
Meskipun Alkaabi (2011) menunjukkan tidak ada perbedaan glukosa postpandrial pasca pemberian lima jenis kurma di Uni Emirat Arab antara subyek sehat dan subyek diabetes type 2, namun subyek diabetes type 2 dalam penelitiannya mempraktekkan gaya hidup sehat yang terkontrol serta mengonsumsi metformin.
Dengan segala manfaat yang terdapat dalam kurma, penulis berpendapat, mengkonsumsi kurma tujuh butir merupakan anjuran yang baik diterapkan bagi orang yang tidak memiliki diabetes. Namun pada penderita diabetes, konsumsi kurma sebaiknya hanya 1 atau 2 butir sehari. Penulis mengambil kutipan dari Imam Syafi’i yang menekankan bahwa di antara ilmu dunia, ilmu kedokteran merupakan salah satu ilmu yang paling penting. Beliau berkata:
إنما العلم علمان: علم الدين، وعلم الدنيا، فالعلم الذي للدين هو: الفقه، والعلم الذي للدنيا هو: الطب
“Ilmu itu ada dua: ilmu agama dan ilmu dunia, ilmu agama yaitu fiqh (fiqh akbar: aqidah, fiqh ashgar: fiqh ibadah dan muamalah, pent). Sedangkan ilmu untuk dunia adalah ilmu kedokteran.” [Adab Asy-Syafi’i wa manaqibuhuhal. 244, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah]
Kurma merupakan salah satu ciptaan Allah yang menjadi salah satu makanan kesukaan Rasulullah SAW. Namun Rasulullah juga mempraktekkan gaya hidup sehat secara utuh, misal dengan membatasi makanan 1/3 dari lambung dan sisanya untuk air serta udara. Artinya, untuk mencapai status sehat, bukan hanya dari makan kurma, namun juga memperhatikan kuantitas semua makanan yang masuk ke dalam tubuh; selain tentunya halal dan thayib (kualitas gizi makanan).
Allahu a'lam bishawab.
*) Tentang Penulis
Sis Ratri Ciptaningtyas yang biasa dipanggil Ratri ini, adalah seorang dosen Peminatan Gizi di UIN Syarif Hidayatullah. Lahir di Purwokerto, tapi besar dan hingga kini menjadi penduduk Depok. Cinta makanan memotivasi sis Ratri berkuliah di jurusan gizi, lalu konsisten menekuninya hingga menjadi doktor dari Universitas Indonesia di Jakarta. Bertugas sebagai abdi negara di UIN Jakarta, tapi kini menemani suami yang sedang studi di Sydney.